Senin, 23 Maret 2009

MEMBENTUK KEPRIBADIAN YANG ISLAMI

"Muhammad itu rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (para shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi saling berkasih sayang terhadap sesama mereka.” (Al Fath: 29)

Istilah Syakhshiyah (kepribadian) dan Syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam) merupakan istilah baru yang tidak ada dalam Al Qur'an maupun As Sunnah. Hal itu adalah lumrah karena merupakan hal baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, sahabat bahkan berabad-abad selama terwujudnya masyarakat Islam secara nyata. Namun ketika berbagai produk budaya Barat makin merajalela di berbagai negeri kaum Muslimin saat ini; baik produk-produk materi (al maadiyah) maupun nilai-nilai (al afkaar); maka pembahasan masalah tersebut menjadi sangat penting dibicarakan.

Salah satu nilai yang tertanam dalam kehidupan kaum Muslimin saat ini adalah nilai-nilai yang dikembangkan dalam bidang ilmu kejiwaan atau psikologi; antara lain tentang konsep kepribadian manusia yang sangat ditentukan oleh berbagai standar. Para ahli Barat banyak membicarakan konsep kepribadian dan nilai-nilai tinggi-rendahnya kepribadian tersebut. Konsep mereka menyatakan bahwa tinggi rendahnya kepribadian seseorang ditentukan oleh berbagai nilai seperti:
  • nilai-nilai fisik (postur tubuh, cara berjalan, bentuk hidung, mata, letak tahi lalat, dsb.)
  • nilai-nilai non-fisik (bentuk pakaian, warna kesukaan, makanan-minuman, saat kelahiran, adat istiadat, dsb.)
  • nilai-nilai genetik (orang tua pintar, seniman, dsb.)
  • nilai-nilai ekternal lainnya (pendidikan, ekonomi, kondisi sosial-politik, dsb.).
Walhasil, nilai-nilai tersebut pun semakin mempengaruhi kaum Muslimin dalam memandang kemuliaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri seseorang maupun masyarakat. Seseorang yang berpakaian ala barat, santun dalam berkata, rapi, peduli lingkungan, disiplin, pemaaf, tepat waktu; dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulia, meskipun ia biasa mengkonsumsi minuman keras --meski tidak sampai mabuk, hidup tanpa ikatan pernikahan seatap dengan pasangannya atas dasar suka sama suka, iapun memakan uang riba dan hasil perjudian (legal maupun tidak), dan ia cukup datang ke tempat-tempat ibadahnya pada saat-saat tertentu saja. Berbagai contoh lain tentang hal ini tentu mudah kita dapatkan di masyarakat. Apalagi kini banyak bermunculan mata pelajaran yang membahas “kepribadian” yang mengajarkan tentang 'kepribadian baik dan mulia' sesuai dengan nilai-nilai baik dan mulia menurut pandangan masyarakat Barat.

Memahami kondisi seperti inilah maka pemahaman tentang makna “kepribadian” dan “kepribadian Islam” menjadi sesuatu yang penting, agar kaum Muslimin memiliki sebuah kepribadian yang benar, mulia dan kokoh yang dibangun diatas nilai-nilai Aqidah Islam sebagaimana kepribadian Rasulullah SAW dan para shahabat yang mulia.

A. Kepribadian dan Kepribadian Islam
Siapapun yang mencermati realitas ini dengan baik, akan menemukan bahwa sesungguhnya kepribadian bukanlah dinilai dari nilai-nilai fisik pada diri seseorang (cantik/tidak, kaya/miskin, dsb.) juga bukan pada asal daerah dan suku (Jawa, Batak, Sunda), kebiasaan atau keturunannya. Kepribadian sebenarnya adalah perwujudan dari pola piker (aqliyah) (yakni bagaimana ia bersikap dan berpikir) dan pola tingkah laku (nafsiyah) (bagaimana ia bertingkah laku).

Pola pikir seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran yang ada pada dirinya dalam menyikapi atau menanggapi berbagai pandangan dan pemikiran tertentu. Pola pikir pada diri seseorang tentu sangat ditentukan oleh 'nilai paling dasar' atau ideology/aqidah yang diyakininya. Dari pola pikir inilah bisa diketahui bagaimana sikap, pandangan atau pemikiran yang dikembangkan oleh seseorang atau yang digunakannya dalam menanggapi berbagai sikap, pandangan dan pemikiran yang ada di masyarakat sekitarnya. Misalnya, seseorang akan mengembangkan suatu ide/konsep; seperti kebebasan, persamaan dan kesetaraan gender, bila ideology/aqidah yang diyakininya membolehkan hal tersebut. Begitu pula sebaliknya, bila ideology/aqidahnya melarang hal seperti itu.

Sedangkan pola tingkah laku (nafsiyah) adalah perbuatan-perbuatan nyata yang dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya (kebutuhan biologis maupun naluriahnya). Pola tingkah laku pada diri seseorang pun sangat ditentukan oleh 'nilai paling dasar' atau ideology/aqidah yang diyakininya. Seseorang akan makan-minum apa saja dalam memenuhi kebutuhan biologisnya bila ideology/aqidah yang diyakininya membolehkan hal itu. Seseorang pun akan memuaskan naluri seksualnya dengan cara apa saja bila ideology/aqidah yang diyakininya membolehkan hal itu. Dan ia pun akan mengatur aturan peribadahannya, tata cara berpakaiannya, tata cara bergaul dan berakhlak sesuai dengan keinginannya, bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal itu. Begitu pula sebaliknya jika ideologi yang diyakini melarangnya.

Walhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan 'corak' kepribadian seseorang. Dan karena pola sikap dan pola tingkah laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar/ideologi yang diyakininya, maka 'corak' kepribadian seseorang memang sangat bergantung kepada ideologi/ aqidah yang dianutnya. Ideologi/aqidah kapitalisme akan membentuk masyarakat berkepribadian kapitalisme-liberal. Ideologi sosialisme pasti akan membentuk kepribadian sosialisme-komunis. Sedangkan ideologi/aqidah Islam seharusnya menjadikan kaum Muslimin yang memeluk dan meyakininya, memiliki kepribadian Islam.

Dalam bahasa yang lebih praktis, kepribadian (syakhshiyah) terbentuk dari pola sikap (aqliyah) dan pola tingkah laku (nafsiyah), yang kedua komponen tersebut terpancar dari ideologi (aqidah) yang khas/ tertentu. Dari sinilah maka ketika membahas tentang kepribadian Islam (Syakhshiyah Islamiyah) berarti berbicara tentang sejauh mana seseorang memiliki pola pikir yang Islami (Aqliyah Islamiyah) dan sejauh mana ia memiliki pola tingkah laku yang Islami (Nafsiyah Islamiyah).

Aqliyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat bila ia memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap aqidah Islamiyah dan ia memiliki ilmu-ilmu ke-Islaman yang cukup untuk bersikap terhadap berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat; dimana semua pandangan dan konsep tersebut distandardisasi dengan ilmu dan nilai-nilai Islami. Sedangkan nafsiyah Islamiyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat bila seseorang menjadikan aturan-aturan Islam sebagai cara dalam memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, berpakaian, dsb.), maupun kebutuhan naluriahnya (beribadah, bergaul, bermasyarakat, berketurunan, dsb.).

Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa bersikap/berfikir atas dasar pola berfikir Islami dan orang-orang yang senantiasa memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya sesuai dengan aturan Islam, tidak mengikuti hawa nafsunya semata. Terlepas apakah ia memiliki syakhshiyah islamiyah yang kuat ataukah tidak, yang jelas ia telah memiliki syakhshiyah/ kepribadian Islam. Hanya saja perlu dipahami disini, bahwa Islam tidak menganjurkan umatnya memiliki syakhshiyah Islamiyah sebatas ala kadarnya. Islam membutuhkan orang-orang dengan syakhshiyah islamiyah yang kokoh; kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya dan tinggi pula tingkat ketaatannya terhadap ajaran Islam.

B. Metode Memperkuat Syakhshiyah Islamiyah
Upaya untuk memperkuat syakhshiyah islamiyah adalah dengan cara meningkatakan aqliyah dan nafsiyah islamiyahnya. Meningkatkan kualitas aqliyah islamiyah adalah dengan cara menambah khazanah ilmu-ilmu Islam (tsaqofah islamiyah); sebagimana dorongan Islam bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun. Dengan ilmu Islam yang cukup seorang Muslim akan mampu menangkal berbagai bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Ia pun akan mampu mengembangkan ilmu-ilmu Islam bahkan dapat menjadi seorang Mujtahid atau Mujaddid. Allah SWT mengajarkan do'a kepada kita:


" Katakanlah: Ya Tuhanku tambahkanlah ilmu kepadaku." (QS Thaha: 114)

Adapun nafsiyah islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan Islam dalam segala hal dan melaksanakan amalan-amalan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunah, serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan syubhat apalagi yang haram. Islam pun menganjurkan agar kita senantiasa berakhlak mulia, bersikap wara' dan qana'ah agar mampu menghilangkan kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman:

" ... dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hambaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardlu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub kepada Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya." (HR Bukhari dari Abu Hurairah)

Allah SWT juga berfirman:


"Maka berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebaikan." (QS Al Baqarah: 148)

Rasulullah SAW bersabda:
"Bagi seorang Muslim telah diwajibkan baginya bershodaqoh. Abu Musa bertanya: 'Bagaimana jika ia tidak mendapatkan sesuatu untuk bershodaqoh?' Rasul menjawab: 'Ia harus berbuat dengan kedua tangannya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya kemudian ia bershadaqoh' Bagaimana jika ia tidak berbuat demikian?' tanya Abu Musa. Rasul menjawab: 'Ia harus menolong orang yang membutuhkannya' Bila ia tidak mampu? Jawab Rasul: 'Ia harus beramar ma'ruf dan mengajak kepada kebajikan'. Bagaimana bila ia tidak kuasa melakukan itu? Rasul menjawab: 'Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah." (HR Bukhari dari Abu Musa)

Dengan cara inilah syakhshiyah islamiyah akan semakin meningkat terus; pemikiran islamnya semakin cemerlang, jiwa islamnya semakin mantap dan istiqomah serta ia pun akan semakin dekat dengan Allah SWT. Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering muncul di kalangan kaum muslimin, yaitu terkadang menggambarkan sosok pribadi Muslim sebagai 'sosok mulia tanpa cacat ibarat malaikat'. Pandangan seperti ini salah dan bisa berbahaya karena seolah kepribadian Muslim adalah hanya milik para Rasul dan tidak akan bisa diterapkan dalam realitas masyarakat.

Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan syakhshiyah islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam pada diri seseorang. Kemudian aqidah tersebut difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan dalam setiap aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini manusia tetap bisa berbuat salah dan maksiat, baik dalam masalah pemikiran maupun perbuatan. Artinya, suatu saat manusia dapat saja berbuat dosa dan lalai terhadap pemikiran maupun perbuatan yang Islami. Namun saat itu pula ia diingatkan untuk segera bertaubat dan kembali berupaya berbuat baik, sebagaimana firman Allah SWT:


"(dan orang bertaqwa itu adalah).. yang jika berbuat dosa dan aniaya atas diri sendiri, ia segera ingat Allah dan memohon ampun atas dosanya... " (QS Ali Imron: 135)

Seorang yang memiliki syakhshiyah islamiyah yang tangguh akan tampil mulia di tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Dimana ia berada akan menjadi pusat perhatian karena ketinggian ilmu dan kekuatan jiwanya. Allah SWT telah menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu dalam berbagai ayat Al Qur’an, antara lain:




"Muhammad itu rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (para shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir tetapi saling berkasih sayang terhadap sesama mereka. Engkau melihat mereka ruku' dan sujud mengharap karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dan bekas sujud." (QS Al Fath : 29)

Begitu pula sebagaimana yang tercantum pada QS At Taubah: 100, Al Mukminun: 1-11, Al Furqon: 63-74, dsb. Meski sifat khas kepribadian Islam itu tidak ada kaitannya dengan penampilan fisik seseorang, namun Islam juga menganjurkan agar umatnya selalu menjaga penampilan fisik, keindahan dan kebersihan; sebagaimana dalam hadits berikut:
"Jika kalian mengunjungi saudaramu maka perbaikilah kendaraanmu dan perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan keindahan yang mudah dikenali) diantara manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang buruk." (HR Abu Dawud)

Islam telah menjadikan diri Rasulullah SAW dan para shahabatnya sebagai orang-orang dengan kepribadian Islam yang paripurna dan kokoh, sebagai teladan tepat bagi seluruh kaum Muslimin. Tidak ada contoh terbaik selain mereka dan orang-orang yang juga mencontoh mereka. Karenanya seorang Muslim haram menjadikan kepribadian Barat sebagai teladan bagi standarisasi kepribadian yang mulia dan kepribadian yang buruk.

Teladan Kepribadian Para Shahabat dan Tabi'in
Ciri khas syakhshiyah pada shahabat dan tabi'in berbeda-beda sesuai dengan tingkatan ilmu, olah aqliyah, kemampuan hafalan Al Qur’an dan hadits Rasul. Abu Ubaidah bin Jarrah merupakan salah seorang shahabat yang demikian teguh keimanannya. Beliau pantas menduduki jabatan Khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah mencalonkannya sebagai Khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah Bani Sa'idah. Hal ini mengingat keahlian dan amanahannya. Abu Ubaidah termasuk salah seorang sahabat yang menguasai dan hafal seluruh Al Qur’an. Beliau mempunyai sifat amanah sehingga Rasulullah SAW memujinya.
"Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang yang terpercaya dan orang yang terpercaya dalam ummatku adalah Abu Ubaidah." (HR Bukhari)

Selain itu Beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadlu'. Sangat tepatlah apabila Khalifah Abu Bakar mengangkatnya sebagai pengelola Baitul Maal dan pada saat yang lain beliau dipercaya sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam. Di kalangan shahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin Zubeir, yang oleh Rasulullah SAW pernah dijuliki Thalhah bin Khair (Talhah yang baik) dalam Perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga mendapat gelar-gelar lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Talhah yang pemurah) pada saat Perang Dzul 'Asyiroh, dalam Perang Khaibar. Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan selalu menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa memenuhi kebutuhan setiap orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya (Bani Tim) dan selalu melunasi hutang-hutang mereka. Rasulullah SAW bersabda: "Setiap nabi mempunyai hawariy (pendamping) dan hawariku adalah Zubeir." (HR Ahmad) dengan isnad Hasan dalam "Al Musnad" jilid I/89, dan Al Hakim "Al Mustadrak", jilid III/462). Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi SAW hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat jihadnya sehingga dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk kepentingan jihad fi sabilillah.

Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan yang memberikan sebagian besar hartanya untuk kepentingan jihad fi sabilillah, Az-Zuhri telah meriwayatkan. "Abdurrahman bin Auf menanggung seluruh ahli Madinah. 1/3 penduduknya diberi pinjaman, 1/3 lainnya membayar pinjamannya, sedangkan 1/3 sisanya diberikan sebagai pemberian." (Lihat "Siar A'lam An Nubala", karangan Imam Adz Dzahabi jilid I/88)

Di antara shahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan perencanaan tata kota adalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh Umar bin Khaththab sebagai wali sekaligus menata Kota Basrah. Ada pula shahabat yang terkenal ahli berpidato adalah Tsabit bin Qo'is, Abdullah bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan Ka'ab bin Malik. Dan tidak ketinggalan, shahabat Utsman bin Affan yang terkenal dengan sifat pemalunya, sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya malaikatpun merasa malu kepadanya."

Shahabat Khabab bin Mudzir, terkenal dengan kecermatan pendapatnya sehingga digelari Dzir Ro'yi (intelektual). Masih ada empat orang shahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu Mua'wiyah bin Abu Sufyan yang memiliki jiwa tenang dan lapang dada, Amr bin Ash yang ahli memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya, Mughiroh bin Syu'bah yang mampu memecahkan masalah besar dan genting, serta Ziyad yang ahli dalam menghadapi masalah kecil maupun besar.

Selain itu di masa shahabat terdapat seorang shahabat yang mampu berbicara dalam seratus bahasa yang tak tertandingi oleh bangsa atau umat manapun hingga kini. Beliau adalah Abdullah bin Zubeir. Adapun shahabat Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian dalam bidang qadha/kehakiman dan fatwa. Shahabat yang ahli dalam masalah pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash dan Abil Jalad Al Jauli. Beberapa contoh tersebut hanyalah beberapa dari syakhsiyah para sahabat. Tentunya masih banyak lagi sahabat rasul yang bersyakhsiyah Islam dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam keilmuannya. Semoga kita bisa meniru mereka atau setidaknya mendekati mereka.

Maraji’:
1. Kitab Syakhsiyah Islamiyah Juz 1
2. Kitab Min Muqawwimat An Nafsiyah Al Islamiyah

Selasa, 17 Maret 2009

santri...sekali santri yo tetep santri..

kita berjalan tak searah
tapi pangkal kita sama...
santri..

kau boleh menjadi pejabat berkerah
dan aku menanam padi di sawah..
tapi kita berasal dari satu pokok..
ngudi ilmune kiai..

kau boleh punya kapal pesiar
dan aku tidur di atas tikar..
tapi kita pernah tinggal dibawah satu atap
tak hanya sehari..dua hari..
bertahun-tahu

pukulan, makian, kasih sayang, rindu dan benci
adalah ritme kehidupan yang kita kecap bersama..
hafalan, hukuman, nadhoman..
penat dan perih itu kini tinggal dalam memori semata


tapi ingatkah kau..
bahwa air wudlu yang kau basuhkan diwajahmu itu adalah stempel permanen???

dialah identitas yang akan kau pikul walau sampai mati bahkan hidup lagi kelak..
karena namamu sebagai santri akan tetap tersimpan dalam memory
tak akan hilang..taka akan mati..
dan aku ingin menayakan..banggakah kau dengan titel abadimu???..."sekali santri..tetap santri.." selamanya!!!